Kamis, 06 Juli 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT NOTONAGORO

 HAKEKAT MANUSIA MENURUT NOTONAGORO
A.     Biografi Tokoh
Prof Dr Drs. Raden Mas Tumenggung Notonagoro SH (10 Desember 1905 - 23 September 1981) adalah seorang sarjana hukum Indonesia dan pemikir. Dia dikreditkan sebagai yang pertama untuk mendekati filsafat negara Pancasila secara filosofis.
o    Biografi
Notonagoro lahir dengan nama Sukamto di SragenJawa Tengah , Indonesia pada tanggal 10 Desember 1905. Setelah menikah dengan Gusti Raden Ayu Kostimah, putri Pakubuwono XSusuhunan dari Surakarta, ia mengadopsi gelar kerajaan Raden Mas Tumenggung dan mengubah namanya menjadi Notonagoro.
Notonagoro lulus dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta pada tahun 1929, menerima gelar Misteer di de Rechten. Ia kemudian menerima doktorandus di de indologidari Universitas LeidenBelanda, pada tahun 1932. Setelah lulus, ia menemukan pekerjaan di Kantor Pusat Ekonomi di Surakarta 1932-1938. Pada sekitar waktu yang sama, 1933-1939, ia mengajar di Particuliaere Algemene Middelbare School di Jakarta.
Setahun setelah Indonesia merdeka , Notonagoro diminta untuk bergabung dengan Kementerian Kemakmuran, tahun berikutnya, ia mulai mengajar di Fakultas Pertanian di KlatenJawa Tengah. Pada tahun 1949 dia membantu dalam pendirianUniversitas Gadjah Mada di Yogyakarta, kemudian menjadi dosen tamu mengajar hukum agraria. Pada tahun 1952 ia menjadi dekan fakultas hukum.
Notonagoro menjadi pendiri fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968. Untuk karyanya dengan universitas dan pemikiran tentang Pancasila, Notonagoro diberi doktor kehormatan di bidang filsafat dari Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 Desember 1974. Dia meninggal pada tanggal 23 September 1981.
o    Pancasila
Notonagoro dilihat orang-orang dan budaya Indonesia sebagai materialis causadari Pancasila. Dia percaya bahwa Pancasila, tidak peduli seberapa diutarakan, terus arti dasar yang sama, yaitu sebagai dasar negara, dan bahwa itu bukanlah konsep politik tapi pandangan dunia. Saat ia menganggap Pancasila prinsip utama dari sistem politik Indonesia, Notonagoro dianggap tidak berubah, dengan arti yang sama dan aspirasi yang sama disampaikan kepada setiap generasi Indonesia.
Dia melihat tiga aspek fundamental dari Pancasila: politik, sosial-budaya, dan agama. Dalam sistem Notonagoro, tiga aspek, serta lima prinsip individu Pancasila, adalah unit senyawa (Indonesian : majemuk-Tunggal). Notonagoro juga melihat Pancasila sebagai yang ada dalam hirarki piramida, dengan masing-masing prinsip yang merupakan penyempurnaan dari yang sebelumnya itu, hirarki ini memastikan bahwa Pancasila harus diambil secara keseluruhan, sebagai Notonagoro dilihat ditinggalkannya satu atau lebih prinsip sebagai tidak stabil seluruh sistem. Sebagai contoh, prinsip pertama (Ketuhanan Yang satu-satunya Tuhan), secara implisit kepercayaan pada satu dan hanya Tuhan, lengkap dengan adil dan beradab kemanusiaan, persatuan Indonesia serta demokrasi terpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam kebulatan suara yang timbul dari permusyawaratan perwakilan dan penuh keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Notonagoro, pertama dua prinsip, kepercayaan pada satu-satunya Tuhan dan hanya dan kemanusiaan yang beradab, mencakup seluruh aspek kemanusiaan dan menjabat sebagai dasar untuk tiga lainnya ajaran. 

B.       Pemikiran Notonagoro tentang Hakikat Manusia
 Dasar Ontologis sila-sila Pancasila
Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23).
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodratraga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodratmanusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia dan sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan inilah maka secara hieraekhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esamendasari dan menjiwai keempat sila-sila pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975: 53).

Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila pancasila adalah berupa hubungan sebab – akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil sebgai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebgai sesab adapun negara adalah sebagai akibat.

ü  Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemology pancasila. Menerut pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia ang memiiki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsure-unsur : fisis anorganis, vegetative, animal. Adapun unsure jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu : akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia.  Menurut notonegoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengtahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan dalam kaitannya degan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai : memories, reseptif, kritis, dan kreatif.
Adapun potensi atau daya untuk meresapkn pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi pengethuan terdapat tngkatan sebagai berikut : demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonegoro, tanpa tahun: 3). Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama pancasila epistemology pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam engetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yg tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain it dalam sila ketiga yaitu persatuan indnesia, sila keempat. Maka epistemology pancasila juga mengakui kebenaran consensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan social. Sebagai suatu paham epistemology maka pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas relegius dalam upaya mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

Berdasarkan hakikatnya manusia dalam kenyataan objektivnya bersifat ganda bahkan multidimensi. Atas dasar kajian ilmu sosial tersebut kemudian dikembangkanlah metode baru berdasarkan hakikat dan sifat paradigma ilmutersebut, maka berkembanglah metode kualitatif. Dalam masalah yang populer iniistilah ‘paradigma’ berkembang menjadi suatu terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka fikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Negara adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia individu-makhluk sosial (natonogoro, 1975), yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan geografis sebagai ruang tempat bangsa tersebut hidup. Akan tetapi harus diingat bahwa manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA
Poespowardojo, Soerjanto, K. Bertens. 1978. Sekitar Manusia. Gramedia: Jakarta
Soemargono, Soejono. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana: Jakarta
Kamaluddin, Undang Ahmad dan S. Pradja, Juhaya. 2013. Filsafat Manusia. Pustaka Setia: Bandung
 https://www.scribd.com/doc/173743931/notonagoro
http://www.academia.edu/11721737/Pancasila_Menurut_Para_Tokoh

Senin, 12 Juni 2017

Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre
BIOGRAFI TOKOH
 Lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Sartre kecil yang biasa dipanggil Paulou, memiliki fisik lemah dan sangat sensitif. Seperti anak berfisik lemah dia suka menyendiri dan melamun. Masa kecilnya terkesan pahit bagi dia karena sering menjadi korban anak yang lebih kuat. Walaupun begitu, ia dikenal sebagai murid yang cerdas. Ayah kandungnya meninggal saat dia berumur dua tahun. Dia dan ibunya lalu hidup bersama kakeknya, seorang guru besar di Universitas Sarbone. Saat berumur dua belas tahun ibunya menikah lagi. Hal ini member pukulan baginya. Beberapa saat kemudian dia tidak lagi mempercayai keberadaan Tuhan dan terang-terangan menentang pandangan kakek dan ayah tirinya.
Pada usia yang ke tujuh belas tahun, ia memulai enam tahun studinya di Universitas Sarbone untuk mendapat aggregation, suatu ujian yang member peluan karier akademis dalam filsafat. Pada 1928  ia gagal dan parahnya mendapat peringkat terakhir dikelasnya. Namun, dari penundaan itu ia bertemu simone de Beauvoir, seorang tokoh feminis yang menjadi kekasih seumur hidup mereka sering bersama dan menjadi kekasih intelektual juga. Sartre lulus sebagai peringkat pertama pada ujian tersebut dan Simone de Beauvoir peringkat sesudahnya. Pada tahun 1929 mengikuti wajib militer. Ia sempat ditahan Nazi pada 21 juni 1940 hingga akhirnya melepaskan diri pada maret 1941.
Pada tahun 1964 ia diberi hadiah nobel sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 april 1980 disebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau ada dan ketiadaan.
Jean –Paul Sartre terkeneal sebagai salah satu tokoh kunci dan filsafat eksistensialisme. Filsafat yang popular setelah masa perang dunia. Oleh karena itu,menjelajahi alam pemikirannya sangatlah penting dalam kajian eksistensialisme.

PEMIKIRAN SARTRE


Banyak yang berjuang demi kebebasan, kenapa justru bagi Jean Paul Sartre kebebasan adalah hukuman kita, manusia. We are condemned to be free. Condemn, because he did not create himself, yet, in other respect is free, because once thrown into the world, he is responsible for everything he does. Kita dikutuk untuk bebas. Dikutuk, karena manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi dilain sisi bebas, sebab sejak terlempar ke dunia, manusia bertanggung jawab atas semua yang dia lakukan. Begitulah ungkap Jean Paul Sartre, seorang filsuf prancis yang terkenal dengan keyakinannya bahwa manusia sepenuhnya bebas, manusia adalah kebebasan mutlak.
Pendapatnya yang paling dasar bahwa manusia sepenuhnya bebas. Maka eksistensinya mendahului esensi. Oleh karena itu, tidak ada kodrat manusia yang tetap. Manusia bebas, manusia adalah kebebasan. Dia menggunakan metode fenomenologi mencoba menangkap fenomena dunia sealami mungkin.
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamat kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme , quietisme, bahkan filsafat keputusasaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistensialisme. Dari pihak komunis eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum burgeois.
Dari pihak katolik, seperti Mile. Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal- ihwal yang memalukan, yang rendah yang patut dicela, yang menjijikkan dlaam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen diskralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu malalui voluntary. Artinya bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi ynag berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke terisolir-annya. Dan ini dalam pandangan kaum kominis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjectivitas murni seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cagito-nya- karenanya eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang solidaritas.
Pertama Sartre menyayangkan bahwa istilah eksistensialisme dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme “ nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendifinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung didalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human university of condition. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskan sebagai berikut “ bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjective.
Secara sederhana Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “ Bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi” ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas disebut artisan, tentu mempunyai konsep terlebih dahulu dibenaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhand ari rumusan pembuatan (formulae) serta kulaitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Disini kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun hal itu berbeda tatkala kit amembeyangkan Allah sebagai sang pencipta yang berarti mengatribusikan kepada-Nya kualitas ”seseorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, ia tahu persis apa yang sedang ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, dimana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang manusia entah itu animal rationale (Aristoteles) atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes) dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan dimana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini ynag keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis, (ada,hadir) menjumpai dirinya muncul didunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu,yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia taklain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subjektif? Lalu dimana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Subjektifitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksisitensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada katakanlah batu atau meja. Subjektifitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis, bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggung jawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa control berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggung jawab di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggung jawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggung jawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subjektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiannya (human subjectivity).pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan.mencipta ini juga berarti memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas dihadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang kit anggap lebih baik dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggung jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihanyang kita buat itu, menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.

Sabtu, 27 Mei 2017

Hakikat Manusia menurut Auguste Comte


Tahap – Tahap Pemikiran Manusia menurut Auguste Comte :

Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua,tahap metafisik, ketiga, tahap positif. Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan, yaitu :

1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, bahwa manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh, atau Tuhan. Tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme)Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri(polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu

2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala didunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal-budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Namun, oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat empirik, maka cara menjelaskan berbagai realita, kemudian itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Sehingga, menurut Comte, cara berfikir metafisik ini sebenarnya adalah pengertian nama saja dari cara berfikir teologis. Baginya, cara berfikir manusia harus keluar dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sarana mencari kebenaran.
Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.


3.         Tahap Positf  
Tahap positif dimana orang menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan, yaitu dengan pengamatan dan     dengan memakai akalnya, merupakan tahap dimana manusia telah sanggup untuk berfikir secara ilmiyah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan. Tujuan tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
            Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan. Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit.


            Terdapat kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. 

Senin, 15 Mei 2017

Kehendak Berkuasa

Kehendak Berkuasa menurut
Friedrich Nietzsche




Apa itu kehendak berkuasa?

Dalam bukunya Beyond Good and Evil, Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak berkuasa. Dalam The Genealogy of Morals dikatakan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Begitu pun, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa hakikat tedalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segalanya.

Dari tiga kutipan buku Nietzsche yang berbeda itu, kita belum mendapatkan jawaban tentang ke-apa-an atau whatness dari ­­kehendak untuk berkuasa. Sebab dengan bertanya “apa itu...?”  kita mengharapkan pengetahuan tentang hakikat dari yang kita tanyakan. Sedang suatu hakikat yang sifatnya tetap, selalu sama dan tidak berubah.
Nietzsche menolak pertanyaan seperti ini. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan kaum metafisisi. Mereka seolah-olah dapat membaca dunia seperti apa adanya. Padahal, menurut Nietzsche, setiap kegiatan bertanya secara filosofis adalah kegiatan penafsiran terhadap dunia (word hermeneutics). Dan yang kita peroleh dari kegiatan semacam ini adalah makna dan arti dari apa yang kita tanyakan. Di balik makna dan arti yang kita peroleh kebenarannya, menurut nietzsche, tak ada yang berarti dan bermakna.
Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan (dirinya sendiri) tanpa mengandaikan pasivitas atau stabilitas. Kalau kehendak berarti kekuatan yang memerintahkan, bukankah harus ada pihak yang bersifat pasif dalam mentaati perintah itu? Mentaati menurut Nietzsche, juga dibutuhkan kekuatan memerintah diri.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehendak dalam kehendak berkuasa  selalu bersifat memerintah dan mentaati tanpa mengandaikan pasivitas apapun.
Gagasan kehendak berkuasa ini sebenarnya dipengaruhi oleh gagasan Schopenhauer. Mula-mula Schopenhauer menilai bahwa kehendak adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Hal ini disebakan karena kehidupan itu tragis, berbahaya, mengerikan, dan ini semua dikedalikan oleh kehendak. Oleh karena itu jika hidup ingin lepas dari penderitaan dan nafsu-nafsu maka manusia harus menolak kehendak. Apa yang menjadi gagasan Schopenhauer seluruhnya bersifat metafisis, tetapi Nietzsche menyangkal hal itu.

Dunia adalah kehendak untuk berkuasa
Nietzsche mewarisi gagasan tentang kehendak untuk berkuasa dari pemikiran Schopenhauer. Berbeda dengan Schopenhauer, Nietzsche memakai gagasan tentang kehendak untuk berkuasa bukan sebagai prinsip metafisika melainkan hanya sebagai prinsip untuk menjelaskan atau menafsirkan dunia, karena dia hanya mengakui adanya satu dunia, yaitu dunia fenomena.
Bagi nietzsche dunia fenomenal yang berubah-ubah ini adalah satu-satunya dunia. Segala sesuatu yang terjadi adalah gejala atau penampakan atau topeng saja. Fenomena itu sendiri menurut Nietzsche, adalah kenyataan yang sejati.

Hidup adalah kehendak untuk berkuasa
Nietzsche mendefinisikan hidup sebagai “sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan”. Yang di maksud dengan proses pemeliharaan adalah kehendak untuk mengoperasikan kekuatan-kekuatan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kehendak untuk berkuasa dari seluruh kekuatan yang termasuk dalam proses itu.
Berdasarkan pemahan hidup ini, Nietzsche mengakui bahwa pada prinsipnya manusia dan hewan adalah sama. Keduanya merupakan sekumpulan kekuatan (kraf) yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan. Yang membedakan di antara keduanya adalah bahwa manusia mempunyai potensi untuk mengatasi diri dan mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri. Kedu unsur ini tidak ada dalam binatang.
Kehendak untuk berkuasa adalah hidup itu sendiri, dan bukan merupakan sesuatu yang dimiliki (possesion). kehendak untuk berkuasa tidak keluar dari ego, melainkan ego keluar dari kehendak untuk berkuasa. Namun ego ini merupakan suatu menjadi, dan bukan merupakan suatu yang tetap.
Tujuan hidup adalah menyadari kenyataan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dengan kata lain, tujuan hidup adalah berkata “Ya” bahwa hidup adalahkehendak untuk berkuasa. Dan di sanalah orang merasa bahagia. Sebab menurut Nietzsche kebahagiaan adalah “perasaan akan bertambahnya kekuasaan”. Tujuan hidup itu “bukan kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melinkan perang”. Lebih lanjut Nietzsche menulis: “hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”

Kehendak  untuk berkuasa dalam pengetahuan
Bagi Nietzsche tujuan pengetahuan bukanlah untuk mengetahui kebenaran mutlak, melainkan untuk menguasai kenyataan. Nietzsche tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Bagi Nietzsche kebenaran adalah kekeliruan yang tidak terbantah dan tidak boleh tidak harus diterima oleh manusia guna meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa. Apa yang telah dicapai oleh para pemikir dalam sepanjang sejarah tidak lebih daripada kekeliruan-kekeliruan. Namun, kekeliruan ini diterima sebagai kebenaran, karena telah terbukti berguna dan membantu untuk mempertahankan hidup dan menguasai kenyataan.
Menurut Nietzsche, kriteria kebenaran adalah semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan. Tingginya kekuatan ini dapat dilihat dari sudut perasaan, pikiran, indera:
“Dari sudut pandang perasaan: [kebenaran adalah] apa yang menggugah perasaan secara kuat (“ego”).
Dari sudut pandang pikiran: [kebenaran adalah] apa yang memberikan kepada pikiran perasaan yang paling kuat akan adanya kekuatan.
Dari sudut pandang sentuhan, penglihatan, dan pendengaran: [kebenaran adalah] apa yang mengundang pada resistensi terbesar.”
Jadi, kriterium yang meyakinkan orang untuk percaya akan kebenaran atau realitas suatu objek adalah terletak dalam perasaan akan kekuatan, perjuangan dan resistensi.
Moralitas adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa

Kamis, 20 April 2017

Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer


Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig, Polandia. Kedua orang tuanya, Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer, adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan. Arthur Schopenhauer tumbuh menjadi salah satu pesismis terbesar dalam sejarah filosofi karena Orangtuanya tidak memperhatikannya. Setelah kematian ayahnya yang bunuh diri, Arthur diwarisi kekayaan yang menjamin bahwa ia tidak perlu lagi bekerja. Lalu ia dikirim ke London untuk mempelajari bahasa Inggris di sekolah asrama Eagle House di Wimbledon.
Pada tahun 1809, Schopenhauer kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen untuk mempelajari Metafisik dan Psikologi di bawah pengajaran Gottlob Ernst Schulze (1761-1833). Schulze mendorong Schopenhauer untuk mempelajari lebih dalam mengenai pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher.
Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan filsuf Imanuel Kant. Kekagumannya terhadap kedua tokoh tersebut sangat besar, sampai di ruang kerjanya dipasang patung kedua tokoh tersebut.
Di antara tahun 1814-1815 Schopenhauer pindah ke Dresden dan menulis beberapa tesis. Salah satu tulisan yang disebutnya sebagai mahakarya diselesaikan pada tahun 1818 adalah The World as Will and Representation. Sayangnya buku-buku Schopenhauer tidak laku terjual.
Tahun 1820 Schopenhauer memberikan kuliah filsafat mengenai teori esensi dunia dan pikiran manusia. Hanya lima orang yang mengikuti kuliahnya, sehingga akhirnya Schopenhauer dikeluarkan dari akademi tersebut.
Schopenhauer pernah menjalin hubungan dengan Caroline Medon selama 10 tahun, tapi Schopenhauer tidak pernah berminat untuk meresmikan hubungan itu. Belakangan saat usia 43 tahun, ia mulai memikirkan pernikahan dan mendekati Flora Weiss, namun tidak berhasil. Setelah kegagalan-kegagalan yang dialaminya, Schopenhauer memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen di Frankfurt pada tahun 1833.
Tahun 1851 Schopenhauer mencapai puncak ketenarannya setelah buku kumpulan esainya diterbitkan dan menjadi bestseller. Kesehatannya mulai memburuk dan ia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya. Schopenhauer meninggal pada usia 72 tahun.
Kebijaksanaan dari Kematian dan Tragedi Perempuan.
Melalui nirwana individu meraih kedamaian tanpa kehendak, dan menemukan pembebasan. Akan tetapi, setelah individu merasa damai dan bebas, kemudian apa? Hidup membawa individu pada kematian, tetapi hiduppun akan menghidupi anak cucu itu, atau anak cucu individu-individu lain. Maka, dapatkah umat manusia diselamatkan? Adakah nirwana untuk semua umat manusia atau untuk sebuah ras, disamping untuk individu?
Jelas, bahwa satu-satunya penaklukan akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yakni kehendak untuk reproduksi. Kepuasaan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup. Beranak pinak, dengan demikian, bisa disebut dengan kejahatan!
Dan, yang terutama melakukan kejahatan itu adalah perempuan. “karena, ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya kehendak, pesona yang bodoh dari perempuan yang menggoda lagi laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak cukup cerdas utnuk melihat betapa singkatnya pesona perempuan tersebut, dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah lama terperosok.
Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan perempuan, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa lebih aman, lebih menyenangkan lebih halus tanpa perempuan. Biarkan para lelaki memahami jerat yang dipasang pada kecantikan perempuan, maka komedi absurd reproduksi (pasti) akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan memperlemah kehendak untuk bereproduksi, dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu, penderitaan hidup akan berakhir.
Schopenhauer dapat mengatakan bahwa perempuan merupakan sumber kejahatan dikarenakan ajarannya yang bersifat pesimis dan ia sendiri akhirnya tidak jadi menikah dan hidup sendiri sampai akhir hayatnya sehingga ada kemungkinan ia menganggap perempuan dengan cara yang negatif.
Kehendak Buta
Menurut Schopenhauer, dunia adalah kehendak dan tiada jalan yang menuju kepada dunia di dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, hakikat dunia tidak dapat didekati dari luar; sebab segala pendekatan dari luar hanya memberi pengetahuan tentang apa yang tampak saja, tidak memberi pengetahuan tentang hakikat dunia itu. Untuk mengetahui tentang hakikat sebenarnya dari dunia ini, kita harus memasuki diri kita sendiri. Kalau kita mampu menemukan hakikat jiwa kita sendiri, kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka pintu dunia luar.
1. Kehendak Hidup
Keinginan manusia yang sangat kuat dan didasari pada norma-norma yang ada, yang dilakukan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini kehendak manusia tidak akan terlepas dari yang namanya intlektual, maksudnya bahwa setiap kehendak dari manusia selalu didasarkan pada intlektual yang dimiliki oleh individu tersebut. akan tetapi dalam hal ini intlek bisa letih, dan kehendak selalu terjaga.
2. Kehendak untuk Reproduksi
Musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Kehendak untuk hidup dapat mengalahkan kematian dengan melakukan reproduksi. Setiap organisme normal pada saat mencapai tingkat dewasa, segera mengorbankan dirinya untuk menjalankan tugas reproduksi. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri yang paling kuat dari setiap organisme, karena dengan cara itu kehendak menaklukan kematian. Setiap orang mencari pasangan yang kira-kira bakal menetralisir segala kekurangannya. Tujuan utama perkawinan adalah perpanjangan spesies, dan bukannya kesenangan individu.
Menurut Schopenhauer setiap manusia mempunyai kehendak dimana terdiri dari dua kehendak yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bereproduksi. Semua manusia ingin hidup dan semua manusia akan meninggal dunia sehingga agar populasi manusia tidak punah maka diberikanlah kehendak untuk bereproduksi. Arthur berpendapat menurutnya setiap manusia mencari pasangan didasari untuk perpanjangan spesies dan bukan sepenuhnya kesenangan individu.
3. Kehendak Sebagai Kejahatan
Jika dunia adalah kehendak, maka dunia adalah penderitaan. Kehendak mengisyaratkan keinginan; keinginan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Akibatnya pemenuhan keinginan tidak pernah memuaskan, sehingga seringkali membawa ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Karena tuntutan nafsu seringkali bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita dan membuatnya menjadi lemah. Kontradiksi merusak diri setiap individu, keinginan yang terpenuhi mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, demikian seterusnya tanpa ada batasnya.
Gambaran menyeluruh tentang hidup sangatlah menyakitkan karena hidup adalah penderitaan. Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan justru memperbesar penderitaan. Sejauh kehendak adalah faktor dominan dalam manusia, kesengsaraan dan perselisihan akan terus menerus ada, dan harus terus ada.
Kehendak dianggap sebagai kejahatan bagi Schopenhauer dikarenakan apabila kehendak tidak terpenuhi akan mendatangkan penderitaan dan akhirnya kehilangan kebahagian.
Filsafat Keinginan

Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap motivasi seseorang.Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang jelas. Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant. Schopenhauer sendiri mengkritik optimisme logika yang dijelaskan oleh kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa manusia hanya didorong oleh keinginan dasar sendiri, atau Wille zum Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia. Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga dengan seluruh tindakan manusia di dunia. Schopenhauer berpendapat bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisikal yang mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati Keinginan yang dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri    Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah penderitaan. Schopenhauer menolak kehendak. Apalagi dengan kehendak untuk membantu orang menderita. Ajaran Schopenhauer menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun ia sediri takut dengan kematian.

Keputusan dan Hukuman

Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya. Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?

Daftar Pustaka :
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer2. http://psychoexpo.blogspot.co.id/2010/05/kehendak-buta-filsafat-arthur.html3.http://www.kompasiana.com/www.filsafatmanusia.com/filsafat-manusia-kehedak-buta-arthur-schopenhauer-1788-1868_55299b106ea8343925552d0c4. http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/arthur-schopenhauer-tokoh-filsafat.html